
Parlemen Turki memutuskan untuk melanjutkan pembahasan RUU reformasi konstitusi. Jika terus berlanjut, maka Presiden Recep Tayyip Erdogan akan menjadi pemimpin paling berkuasa di negerinya, dan terus memimpin hingga 2029.
Dalam konstitusi sebelumnya, presiden bertindak sebagai kepala negara. Sedangkan roda pemerintahan sepenuhnya di bawah kendali perdana menteri, di mana jabatan ini berhak membentuk atau membubarkan kabinet.
Namun, dalam konstitusi baru, nantinya kekuasaan tersebut bukan lagi berada di tangan perdana menteri, melainkan presiden. Undang-undang ini juga membuat Erdogan menjadi pemimpin partai dan tetap menyandang kekuasaan yang diperolehnya sejak 2014 lalu selama 12 tahun mendatang.
Dilansir harian The Independent, Selasa (10/1), Perdana Menteri Binali Yildirim meyakini kebijakan ini akan menyelesaikan masalah di pemerintahan Turki. Di mana terdapat dua otoritas eksekutif yakni presiden dan perdana menteri.
"Perlu ada satu otoritas di cabang eksekutif. Dua kapten menenggelamkan kapal, perlu ada satu kapten," tegas Yildirim dalam sebuah debat di stasiun televisi lokal.
Sementara itu, Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) yang kini menjadi partai berkuasa di Turki menyebut butuh kepemimpinan kuat untuk mengatasi situasi keamanan yang rapuh di negara itu. Apalagi, Turki sempat mengalami upaya kudeta dan serangan teror.
Sedangkan pihak oposisi menolak usulan itu. Mereka yakin kekuasaan penuh yang diberikan parlemen kepada sang presiden bisa membuat negara tersebut jatuh ke dalam sistem otoriterian.
Undang-undang reformasi itu harus didukung setidaknya 330 dari 550 anggota majelis agar bisa diajukan menjadi referendum nasional, partai pendukung Erdogan berharap pembahasan selesai musim semi mendatang.
Dalam pembahasan Senin (9/1) kemarin, 134 dari 480 perwakilan di parlemen menolak konstitusi baru tersebut. Pembahasan diperkirakan bakal terus berlanjut hingga 24 Januari mendatang.
Di saat bersamaan, Presiden Erdogan terus membangun kekuasaannya terhadap Turki. Sejumlah tindakan keras dia lakukan terhadap lawan-lawan politiknya sejak kudeta berlangsung, sejumlah oposisi, akademisi, wartawan dan aktivis ditangkapi pada Juli lalu.