CINTABERITA - Banyak cara dan tradisi yang digelar warga untuk menyambut datangnya Ramadan. Tak terkecuali warga Semarang, Jawa Tengah memiliki tradisi Dugderan, yang tak sekadar pasar rakyat tetapi juga sekaligus menandai awal masuknya bulan puasa.
Tradisi ini selalu menyedot perhatian masyarakat karena banyak pedagang 'tiban' yang berjualan di pasar rakyat sepekan sebelum Ramadan. Puncak acara dugderan adalah satu hari sebelum bulan puasa, berupa karnaval yang diikuti pasukan merah putih, drumband, pasukan pakaian adat berbagai daerah, meriam, warak ngendok, serta berbagai kesenian di Kota Semarang.
Dalam karnaval itu, yang paling mengundang perhatian adalah warak ngendok, sejenis binatang rekaan yang memadukan tiga unsur hewan. Warak ngendok juga sebagai simbol kerukunan antaragama dan suku yang terdapat di Semarang.
Kepalanya menyerupai kepala naga, sebagai simbol khas kebudayaan dari etnis Tionghoa. Sedangkan tubuhnya berbentuk layaknya unta khas kebudayaan dari etnis Arab. Sedangkan keempat kakinya menyerupai kaki kambing khas kebudayaan dari etnis Jawa.
Secara bahasa, warak ngendok berasal dari kata wara'ah dan ngendog. Wara'ah adalah bahasa Arab berarti menahan dari sesuatu yang buruk, sementara ngendok dari bahasa Jawa dengan arti bertelur.
Warak ngendok dibuat dari kertas warna-warni sehingga terlihat paling menarik perhatian pengunjung. Karnaval biasanya dimulai sejak pagi dan berakhir menjelang Magrib.
Munculnya tradisi Dugderan berawal dari perbedaan penentuan awal Ramadan oleh umat Islam. Hingga pada 1881, Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat, berinisiatif menentukan awal Ramadan, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan meriam di halaman pendapa kabupaten, masing-masing dibunyikan tiga kali.
Sebelum memukul bedug dan menyalakan meriam, digelar upacara di halaman pendopo kabupaten. Suara bedug berbunyi dug dug, dan meriam terdengar der der, itu akhirnya menarik perhatian masyarakat Semarang dan sekitarnya, untuk berdatangan. Masyarakat pun mengenal tradisi menjelang awal Ramadan itu sebagai Dugderan.
Banyaknya pengunjung, mengundang para pedagang dari berbagai daerah untuk menjual berbagai makanan, minuman, dan mainan anak-anak seperti yang terbuat dari tanah liat (celengan, gerabah), serta mainan dari bambu (seruling, gangsingan).
"Acara ini unik, ramai. Setiap tahun pasti digelar menjelang Ramadan. Tak hanya untuk membeli mainan tradisional anak-anak, tapi juga sekaligus mengenalkan pada anak bahwa kita punya warak ngendok," kata seorang warga Nurhaeni.
Tradisi Dugderan masih tetap lestari meski pelaksanaannya sudah banyak perubahan. Penyebab perubahan tradisi itu antara lain pindahnya pusat pemerintahan ke Balai Kota di Jalan Pemuda dan berkembangnya bangunan-bangunan pertokoan di seputar Pasar Johar.
Meski demikian, upacara tradisi Dugderan di halaman Balai Kota tetap digelar pada waktu sama, yaitu sehari sebelum bulan puasa. Pembukaan acara ditandai dengan pemukulan bedug oleh Wali Kota Semarang yang bertindak sebagai adipati.
Usai upacara, Wali Kota menaiki kereta kencana dikawal Pasukan Pandanaran. Kemudian arak-arakan itu diikuti pasukan berkuda dan bendi hias yang ditumpangi jajaran muspida Kota Semarang menuju Masjid Agung Semarang Kauman.
Setiba di Masjid Agung Semarang Kauman, Wali Kota disambuat tarian Warak Ngendok yang diperankan siswa-siswi SMA. Kemudian, Wali Kota melaksanakan prosesi pembacaan skukuf halaqah, pemukulan bedug sebanyak 17 kali diiringi dentuman meriam serta pembagian makanan khas Semarang roti Ganjel Rel dan air khataman Alquran.
Setelah prosesi di Masjid Kauman, rombongan akan melanjutkan perjalanan menuju Masjid Agung Jawa Tengah guna menyerahkan skukuf halaqah kepada Gubernur Jawa Tengah yang bertindak sebagai Raden Mas Tumenggung Probo Hadikusumo. Pada prosesi ini juga diiringi suara bedug dan meriam.
Tradisi ini selalu menyedot perhatian masyarakat karena banyak pedagang 'tiban' yang berjualan di pasar rakyat sepekan sebelum Ramadan. Puncak acara dugderan adalah satu hari sebelum bulan puasa, berupa karnaval yang diikuti pasukan merah putih, drumband, pasukan pakaian adat berbagai daerah, meriam, warak ngendok, serta berbagai kesenian di Kota Semarang.
Dalam karnaval itu, yang paling mengundang perhatian adalah warak ngendok, sejenis binatang rekaan yang memadukan tiga unsur hewan. Warak ngendok juga sebagai simbol kerukunan antaragama dan suku yang terdapat di Semarang.
Kepalanya menyerupai kepala naga, sebagai simbol khas kebudayaan dari etnis Tionghoa. Sedangkan tubuhnya berbentuk layaknya unta khas kebudayaan dari etnis Arab. Sedangkan keempat kakinya menyerupai kaki kambing khas kebudayaan dari etnis Jawa.
Secara bahasa, warak ngendok berasal dari kata wara'ah dan ngendog. Wara'ah adalah bahasa Arab berarti menahan dari sesuatu yang buruk, sementara ngendok dari bahasa Jawa dengan arti bertelur.
Warak ngendok dibuat dari kertas warna-warni sehingga terlihat paling menarik perhatian pengunjung. Karnaval biasanya dimulai sejak pagi dan berakhir menjelang Magrib.
Munculnya tradisi Dugderan berawal dari perbedaan penentuan awal Ramadan oleh umat Islam. Hingga pada 1881, Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat, berinisiatif menentukan awal Ramadan, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan meriam di halaman pendapa kabupaten, masing-masing dibunyikan tiga kali.
Sebelum memukul bedug dan menyalakan meriam, digelar upacara di halaman pendopo kabupaten. Suara bedug berbunyi dug dug, dan meriam terdengar der der, itu akhirnya menarik perhatian masyarakat Semarang dan sekitarnya, untuk berdatangan. Masyarakat pun mengenal tradisi menjelang awal Ramadan itu sebagai Dugderan.
Banyaknya pengunjung, mengundang para pedagang dari berbagai daerah untuk menjual berbagai makanan, minuman, dan mainan anak-anak seperti yang terbuat dari tanah liat (celengan, gerabah), serta mainan dari bambu (seruling, gangsingan).
"Acara ini unik, ramai. Setiap tahun pasti digelar menjelang Ramadan. Tak hanya untuk membeli mainan tradisional anak-anak, tapi juga sekaligus mengenalkan pada anak bahwa kita punya warak ngendok," kata seorang warga Nurhaeni.
Tradisi Dugderan masih tetap lestari meski pelaksanaannya sudah banyak perubahan. Penyebab perubahan tradisi itu antara lain pindahnya pusat pemerintahan ke Balai Kota di Jalan Pemuda dan berkembangnya bangunan-bangunan pertokoan di seputar Pasar Johar.
Meski demikian, upacara tradisi Dugderan di halaman Balai Kota tetap digelar pada waktu sama, yaitu sehari sebelum bulan puasa. Pembukaan acara ditandai dengan pemukulan bedug oleh Wali Kota Semarang yang bertindak sebagai adipati.
Usai upacara, Wali Kota menaiki kereta kencana dikawal Pasukan Pandanaran. Kemudian arak-arakan itu diikuti pasukan berkuda dan bendi hias yang ditumpangi jajaran muspida Kota Semarang menuju Masjid Agung Semarang Kauman.
Setiba di Masjid Agung Semarang Kauman, Wali Kota disambuat tarian Warak Ngendok yang diperankan siswa-siswi SMA. Kemudian, Wali Kota melaksanakan prosesi pembacaan skukuf halaqah, pemukulan bedug sebanyak 17 kali diiringi dentuman meriam serta pembagian makanan khas Semarang roti Ganjel Rel dan air khataman Alquran.
Setelah prosesi di Masjid Kauman, rombongan akan melanjutkan perjalanan menuju Masjid Agung Jawa Tengah guna menyerahkan skukuf halaqah kepada Gubernur Jawa Tengah yang bertindak sebagai Raden Mas Tumenggung Probo Hadikusumo. Pada prosesi ini juga diiringi suara bedug dan meriam.
BANDAR POKER, BANDAR POKER TEPERCAYA,BANDAR POKER TERBAIK,ADU Q,BANDAR Q,DOMINO QQ,POKER,CAPSASUSUN,SAKONG