CINTABERITA - Pengamat Kemaritiman dari The National Maritime Institute Siswanto Rusdi menilai kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait pelarangan cantrang merupakan dorongan dari komunitas perikanan internasional, lantaran menganggap penggunaan alat tangkap ikan tersebut dapat merusak lingkungan.
Menurutnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkesan memaksakan diri ikut ambil bagian dalam kebijakan komunitas perikanan internasional. Padahal, aturan tersebut tidak cocok bagi nelayan Indonesia yang menganggap penggunaan cantrang sebagai budaya melaut.
"Jadi, yang disebut ramah lingkungan itu sangat tergantung negara masing-masing. Cantrang ini sesuatu alat yang harus diganti oleh komunitas perikanan internasional tetapi ini sendiri sangat bergantung pada budaya tangkap di negara masing-masing, jadi tidak bisa disamakan, perubahan harus perlahan-lahan karena sudah budaya. Apa yang dilakukan di Jepang belum tentu cocok di Indonesia," jelas Siswanto dalam diskusi 'Kepastian Alat Tangkap Nelayan' di kawasan Menteng, Jakarta (Sabtu, 13/5).
Menurutnya, sejak Susi memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan ada saja kebijakan kontroversi yang dikeluarkan. Hal itu lantaran Susi tidak banyak berpikir sebelum menelurkan kebijakan, urusan diterima atau tidaknya hal belakangan. Bahkan, tiga tahun menjadi pambantu Presiden Joko Widodo, Susi sering mendapat protes nelayan terkait kebijakannya, terakhir soal pelarangan pengunaan cantrang.
"Tiga tahun pemerintahan ini Bu Susi masih banyak diprotes berbagai kalangan, terutama nelayan. Kalau pengusaha, mereka cenderung bisa mengikuti, kalau nelayan hampir rata-rata ke Bu Susi marah karena priuk nasi mereka terganggu. (Cantrang) dilarang tapi tak diberikan alternatif alat lain. Kebijakan Susi sejak awal tak pro nelayan," pungkas Siswanto.
Peraturan yang dibuat Susi menimbulkan konflik antar nelayan dan aparat penegak hukum. Peraturan yang mengundang pro kontra yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Dalam peraturan disebutkan bahwa nelayan dilarang menggunakan cantrang untuk menangkap ikan. Sebagai gantinya, KKP membagikan alat penangkap ikan pengganti cantrang yang dianggap lebih ramah lingkungan. Namun persoalannya, dua tahun sejak kebijakan itu berjalan, KKP belum optimal dalam soal pembagian alat penangkap ikan pengganti cantrang.
Presiden Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa penggunaan cantrang masih diizinkan hingga akhir 2017 terutama untuk wilayah Jawa Tengah yang paling banyak menggunakan alat penangkapan ikan jenis itu.
Susi beranggapan kebijakan yang telah disosialisasikan dan dipahami masyarakat itu justru dipolitisasi oleh kalangan elit politik. Padahal dampak buruk penggunaan cantrang sudah sepenuhnya dipahami para nelayan. Kebijakan tersebut juga diambil lantaran pemerintah ingin pengelolaan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan demi masa depan nelayan
"Yang saya sayangkan kami sudah mengatur sedemikian rupa dan disosialisasikan ke masyarakat, masyarakatnya mengerti tapi dipolitisasi, akhirnya membuat kita tidak move on. Saya memohon kepada petinggi, pejabat, partai politik untuk tidak memakai urusan ini jadi komoditas politik," ujar Susi, Kamis lalu (4/5).
Menurutnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkesan memaksakan diri ikut ambil bagian dalam kebijakan komunitas perikanan internasional. Padahal, aturan tersebut tidak cocok bagi nelayan Indonesia yang menganggap penggunaan cantrang sebagai budaya melaut.
"Jadi, yang disebut ramah lingkungan itu sangat tergantung negara masing-masing. Cantrang ini sesuatu alat yang harus diganti oleh komunitas perikanan internasional tetapi ini sendiri sangat bergantung pada budaya tangkap di negara masing-masing, jadi tidak bisa disamakan, perubahan harus perlahan-lahan karena sudah budaya. Apa yang dilakukan di Jepang belum tentu cocok di Indonesia," jelas Siswanto dalam diskusi 'Kepastian Alat Tangkap Nelayan' di kawasan Menteng, Jakarta (Sabtu, 13/5).
Menurutnya, sejak Susi memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan ada saja kebijakan kontroversi yang dikeluarkan. Hal itu lantaran Susi tidak banyak berpikir sebelum menelurkan kebijakan, urusan diterima atau tidaknya hal belakangan. Bahkan, tiga tahun menjadi pambantu Presiden Joko Widodo, Susi sering mendapat protes nelayan terkait kebijakannya, terakhir soal pelarangan pengunaan cantrang.
"Tiga tahun pemerintahan ini Bu Susi masih banyak diprotes berbagai kalangan, terutama nelayan. Kalau pengusaha, mereka cenderung bisa mengikuti, kalau nelayan hampir rata-rata ke Bu Susi marah karena priuk nasi mereka terganggu. (Cantrang) dilarang tapi tak diberikan alternatif alat lain. Kebijakan Susi sejak awal tak pro nelayan," pungkas Siswanto.
Peraturan yang dibuat Susi menimbulkan konflik antar nelayan dan aparat penegak hukum. Peraturan yang mengundang pro kontra yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Dalam peraturan disebutkan bahwa nelayan dilarang menggunakan cantrang untuk menangkap ikan. Sebagai gantinya, KKP membagikan alat penangkap ikan pengganti cantrang yang dianggap lebih ramah lingkungan. Namun persoalannya, dua tahun sejak kebijakan itu berjalan, KKP belum optimal dalam soal pembagian alat penangkap ikan pengganti cantrang.
Presiden Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa penggunaan cantrang masih diizinkan hingga akhir 2017 terutama untuk wilayah Jawa Tengah yang paling banyak menggunakan alat penangkapan ikan jenis itu.
Susi beranggapan kebijakan yang telah disosialisasikan dan dipahami masyarakat itu justru dipolitisasi oleh kalangan elit politik. Padahal dampak buruk penggunaan cantrang sudah sepenuhnya dipahami para nelayan. Kebijakan tersebut juga diambil lantaran pemerintah ingin pengelolaan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan demi masa depan nelayan
"Yang saya sayangkan kami sudah mengatur sedemikian rupa dan disosialisasikan ke masyarakat, masyarakatnya mengerti tapi dipolitisasi, akhirnya membuat kita tidak move on. Saya memohon kepada petinggi, pejabat, partai politik untuk tidak memakai urusan ini jadi komoditas politik," ujar Susi, Kamis lalu (4/5).